GURU AKTIF SISWA KREATIF
‘SMATER Kalahkan Tim Tangguh’, demikianlah bunyi salah satu judul berita dalam Surat Kabar Harian Pos Kupang,14/03/2015. SMAK Frateran Maumere yang turut serta dalam Rally Jurnalistic Competition, yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya 6-7 Maret 2015 lalu, berhasil menggondol dua penghargaan yakni Best Photographer dan Best Team. Hebatnya lagi, tim SMATER, yang terdiri dari tiga orang siswa, mampu menyisihkan tim-tim tangguh dari sekolah-sekolah terkemuka di Pulau Jawa. Ini merupakan sebuah kebanggan bagi lembaga pendidikan tersebut, juga bagi segenap komponen pendidikan di NTT umumnya dan Nian Tana Sikka khususnya.
Tentunya, kesuksesan itu layak diapresiasi. Pada tataran ini, yang ingin dibicarakan ialah peranan guru dalam memberdayakan kualitas peserta didiknya. Artinya, keberhasilan seorang siswa niscaya tak lepas dari gurunya. Guru memainkan peranan penting dalam episentrum pengembangan kualitas diri siswa. Dengan demikian, adagium Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari bisa menemukan kesahihannya.
Berbicara tentang kualitas diri, ada dua kontur yang berkaitan erat. Pertama, kualitas intelektual yang berkenaan dengan aspek akademis, dan yang kedua ialah kecakapan humanis sebagai konsekuensi dari pendidikan karakter yang dewasa ini mesti diperhatikan secara lebih serius. Hematnya, esensi pendidikan itu menghasilkan anak didik yang cerdas serentak penuh daya kreativitas. Kreativitas ini merupakan perpaduan konkret antara aspek akademis dan humanis tersebut. Siswa kreatif mampu memanfaatkan potensi dirinya, mengembangkan hal yang didapat di kelas (ranah akademis) sehingga pribadinya tidak menjadi rigid (kaku) oleh patron pengajaran yang ada. Siswa tidak hanya melulu “dibuat” cerdas tetapi mampu memanfaatkan kecerdasannya demi menghasilkan sesuatu yang bermakna. Praktisnya, pengembangan bakat dan minat menjadi keutamaan dalam konsep kreativitas termaksud.
Para komponen pendidikan di NTT perlu memerhatikan hal ini. Kreativitas siswa patut dikembangkan supaya tidak ngawur dan terjerumus destruktif ke dalam gerowong perkembangan zaman. Partisipasi aktif guru menjadi penting. Guru dituntut aktif dalam pengembangan minat dan bakatnya. Tentunya, kesadaran dunia pendidikan terhadap ini patut diapresiasi takzim. Kegiatan ekstrakurikuler ataupun kelompok minat yang sudah berlangsung di sekolah-sekolah dilihat sebagai hal tak terbantahkan guna menopang keselarasan kualitas diri. Peran guru itu sebagai usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda yang lebih baik di masa depan. Ini namanya proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Driyarkara menyebutnya sebagai pengangkatan manusia muda ke taraf insani, atau principle of reaction dalam bahasanya Ki Hadjar Dewantara.
Carl Rogers (1902-1987), seorang tokoh humanistik, menekankan tiga sikap fasilitator belajar, dalam konteks ini guru, yaitu kesadaran realitas di dalam fasilitator belajar; penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan; dan pengertian yang empati. Guru aktif berarti guru yang tidak hanya terpaku kaku dan bersujud peluh pada pedoman pengajaran yang ada. Maksudnya, guru mesti memiliki gaya mengajar yang membuat siswa mampu menyerap intisari ilmu yang diajarkan. Guru tidak saja berpegang teguh pada bahan ajar yang disediakan tetapi mencari sumber-sumber pembanding ataupun tambahan demi penyaluran pengetahuan. Ini sungguh berarti bahwa guru menyadari realitas dunia pendidikannya. Aktif di sini bisa juga berarti kreatif. Ada hal-hal yang mesti ditambahkan juga patut direvitalisasi. Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan merujuk pada rasa respek terhadap siswa. Guru menciptakan atmosfir situasi yang membuat siswa merasa nyaman. Harga diri siswa diangkat dan kepercayaan dirinya terbentuk baik. Pengertian yang empati mengandung pengertian bahwa guru membiarkan siswa mengembangkan minat dan bakatnya sembari memberikan bimbingan-bimbingan seperlunya. Di sini, kreativitas siswa tidak direpresi/ditekan tetapi mendapat dukungan nyata.
Pada akhirnya, peranan aktif guru merupakan sebuah keharusan demi kemantapan kreativitas siswa. Ini karena pendidikan merupakan sebuah usaha sadar dan sistematis. Tentunya ada beragam hal yang harus dibenahi dan menjadi refleksi bersama, bukan hanya bagi para pendidik melainkan juga komponen-komponen pendidikan lainnya seperti orang tua, masyarakat, dan juga pemerintah. Keberhasilan ketiga siswa SMAK Frateran Maumere dalam Rally Jurnalistic Competition setidaknya menunjukkan bahwa guru sukses berpartisipasi aktif dalam kreativitas siswa. Ini merupakan sebuah kebanggaan bersama.
OLEH : ELVAN DE PORRES
Terlahir di Maumere, Flores, NTT. Sejak kecil, memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain futsal. Sekarang
SUMBER
Tentunya, kesuksesan itu layak diapresiasi. Pada tataran ini, yang ingin dibicarakan ialah peranan guru dalam memberdayakan kualitas peserta didiknya. Artinya, keberhasilan seorang siswa niscaya tak lepas dari gurunya. Guru memainkan peranan penting dalam episentrum pengembangan kualitas diri siswa. Dengan demikian, adagium Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari bisa menemukan kesahihannya.
Berbicara tentang kualitas diri, ada dua kontur yang berkaitan erat. Pertama, kualitas intelektual yang berkenaan dengan aspek akademis, dan yang kedua ialah kecakapan humanis sebagai konsekuensi dari pendidikan karakter yang dewasa ini mesti diperhatikan secara lebih serius. Hematnya, esensi pendidikan itu menghasilkan anak didik yang cerdas serentak penuh daya kreativitas. Kreativitas ini merupakan perpaduan konkret antara aspek akademis dan humanis tersebut. Siswa kreatif mampu memanfaatkan potensi dirinya, mengembangkan hal yang didapat di kelas (ranah akademis) sehingga pribadinya tidak menjadi rigid (kaku) oleh patron pengajaran yang ada. Siswa tidak hanya melulu “dibuat” cerdas tetapi mampu memanfaatkan kecerdasannya demi menghasilkan sesuatu yang bermakna. Praktisnya, pengembangan bakat dan minat menjadi keutamaan dalam konsep kreativitas termaksud.
Para komponen pendidikan di NTT perlu memerhatikan hal ini. Kreativitas siswa patut dikembangkan supaya tidak ngawur dan terjerumus destruktif ke dalam gerowong perkembangan zaman. Partisipasi aktif guru menjadi penting. Guru dituntut aktif dalam pengembangan minat dan bakatnya. Tentunya, kesadaran dunia pendidikan terhadap ini patut diapresiasi takzim. Kegiatan ekstrakurikuler ataupun kelompok minat yang sudah berlangsung di sekolah-sekolah dilihat sebagai hal tak terbantahkan guna menopang keselarasan kualitas diri. Peran guru itu sebagai usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda yang lebih baik di masa depan. Ini namanya proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Driyarkara menyebutnya sebagai pengangkatan manusia muda ke taraf insani, atau principle of reaction dalam bahasanya Ki Hadjar Dewantara.
Carl Rogers (1902-1987), seorang tokoh humanistik, menekankan tiga sikap fasilitator belajar, dalam konteks ini guru, yaitu kesadaran realitas di dalam fasilitator belajar; penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan; dan pengertian yang empati. Guru aktif berarti guru yang tidak hanya terpaku kaku dan bersujud peluh pada pedoman pengajaran yang ada. Maksudnya, guru mesti memiliki gaya mengajar yang membuat siswa mampu menyerap intisari ilmu yang diajarkan. Guru tidak saja berpegang teguh pada bahan ajar yang disediakan tetapi mencari sumber-sumber pembanding ataupun tambahan demi penyaluran pengetahuan. Ini sungguh berarti bahwa guru menyadari realitas dunia pendidikannya. Aktif di sini bisa juga berarti kreatif. Ada hal-hal yang mesti ditambahkan juga patut direvitalisasi. Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan merujuk pada rasa respek terhadap siswa. Guru menciptakan atmosfir situasi yang membuat siswa merasa nyaman. Harga diri siswa diangkat dan kepercayaan dirinya terbentuk baik. Pengertian yang empati mengandung pengertian bahwa guru membiarkan siswa mengembangkan minat dan bakatnya sembari memberikan bimbingan-bimbingan seperlunya. Di sini, kreativitas siswa tidak direpresi/ditekan tetapi mendapat dukungan nyata.
Pada akhirnya, peranan aktif guru merupakan sebuah keharusan demi kemantapan kreativitas siswa. Ini karena pendidikan merupakan sebuah usaha sadar dan sistematis. Tentunya ada beragam hal yang harus dibenahi dan menjadi refleksi bersama, bukan hanya bagi para pendidik melainkan juga komponen-komponen pendidikan lainnya seperti orang tua, masyarakat, dan juga pemerintah. Keberhasilan ketiga siswa SMAK Frateran Maumere dalam Rally Jurnalistic Competition setidaknya menunjukkan bahwa guru sukses berpartisipasi aktif dalam kreativitas siswa. Ini merupakan sebuah kebanggaan bersama.
OLEH : ELVAN DE PORRES
Terlahir di Maumere, Flores, NTT. Sejak kecil, memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain futsal. Sekarang
SUMBER